Kamis, 27 Agustus 2015

Angin lalu

Tidak ada yang tahu sama sekali jikalau pertemuan itu akan pecah dengan amarah. Tidak tahu kenapa, mereka seringkali menjadikan kami sebagai objek yang patut disalahkan. Bukankah kami semua adalah hasil produksi selama tiga tahun kami belajar? lantas, jika memang kami belum memahami satu bidang, apalagi tenggelam dalam bab yang sulit bagi kami, apakah itu murni kesalahan kami?

Ayolah, kami juga ingin menjadi seperti mereka-mereka yang diluar sana dengan gelar kesuksesan. Dibanggakan oleh orang tua kami itu sudah lebih dari cukup, bukan dengan amarah, dan kalimat-kalimat yang selalu menyudutkan kami. Yang paling aneh ialah kami selalu disalahkan akan hal yang jelas-jelas bukan kesalahan kami. Kami memang tidak memahami konsep-konsep yang diberikan sejak kami menginjakkan kaki disini; rumah belajar. 

Hey, apakah boleh kami yang biasa disebut anak kemarin sore memberikan kritik pada beliau-beliau yang harus kami hormati sama seperti kami menghormati orangtua kandung kami? apakah mereka akan mendengarnya? 

Katanya, "kita sama-sama belajar. Jangan jadikan saya sebagai orang yang paling benar disini."
Nyatanya ," Saya yang benar. Kalian yang salah." Kami hanya ingin beliau-beliau sadar, bukan kami saja yang patut menyadari kesalahan kami.

Beberapa hari yang lalu, hanya diam yang bisa kami lakukan. Mati kutu dihadapan seorang yang patut dihormati sama halnya kami menghormati orangtua kami. Amarahnya pecah seketika saat ia mengajukan beberapa soal yang memang harus dijawab. Mau tidak mau, bisa tidak bisa, harus mau dan bisa! Ini adalah mimpi buruk bagi kami. Tidak ada satu orang pun yang mampu menjawabnya! jelas, saat itu kami dibawah tekanan amarah yang meluap-luap. Kami bertanya pada diri kami, "apakah ini memang kesalahan kami?"

Andaikan mereka tahu, mereka sadar, bahwa masalah ada di dalam cara mereka menyampaikan. Bukan malah menyudutkan kami layaknya orang bodoh. Oh, bukankah mereka yang bodoh lebih banyak berusaha untuk menjadi tidak bodoh? bukankah kebanyakan orang pandai merasa dirinya pandai lalu lalai dan lupa menganggap dirinya tak perlu berusaha sekeras usahanya orang-orang yang dianggap bodoh? bukankah begitu?

Pemalas sekalipun tahu, dia akan bangkit dari kebodohannya. Dia hanya malas bukan? dia hanya bodoh dalam satu bidang bukan? lantas, apa salah "si bodoh" jikalau banyak hal yang ia ciptakan dengan kreatifitas mereka masing-masing? Bukankah malas dengan kreatifitas lebih unggul dibanding orang yang pandai tanpa kreatifitas? Oh, itu memang menurutku. Mereka yang dianggap bodoh seringkali memiliki sisi yang tidak pernah dilirik bahkan oleh pengajar mereka sendiri. Keberadaannya hanya dianggap angin lalu. Hebatnya, si bodoh dengan kreatifitasnya tanpa henti mengusahakan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Beda halnya dengan mereka yang sering diagung-agungkan, "si pintar". Bukankah si pintar seringkali merasa dirinya pintar? lalu buat apa mereka mengusahakan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu? toh, dia sudah pintar bukan? Salah! justru si bodohlah yang berada di garis depan hari ini! Si Pintar lupa dengan kreatifitasnya. Si Pintar karena sudah merasa pintar, dia tidak berkembang. Stuck disitu-situ aja. Sementara si bodoh, karena ia merasa dirinya bodoh, ia gunakan kreatifitasnya untuk mencapai sesuatu hingga mendapatkan sesuatu. Think again!

Dan, buat beliau-beliau yang terhormat, yang seringkali merendahkan kemampuan seseorang, senyuman lebar menantimu di garis depan. 

Tidak ada komentar:

SINOPSIS BIARKAN MENGALIR SEPERTI AIR

Alea, remaja enam belas tahun yang berulang tahun setiap bulan Januari tidak pernah berharap Tuhan mendatangkan sahabat seperti seriga...