Senin, 28 November 2016

SINOPSIS BIARKAN MENGALIR SEPERTI AIR



Alea, remaja enam belas tahun yang berulang tahun setiap bulan Januari tidak pernah berharap Tuhan mendatangkan sahabat seperti serigala hutan dan kupu-kupu gelap yang hinggap di wajahnya. Tidak pernah ada yang tahu bahwa ia akan divonis lupus pada tahun 2014 bertepatan saat ia duduk di kelas tiga untuk menghadapi Ujian Nasional. 

Awalnya ia marah pada Tuhan, mengapa harus dirinya yang menanggung beban hidup yang datang keroyokan seperti air hujan di awal musim hujan. Mengapa Tuhan tidak menarik Papanya ketika Papanya memutuskan untuk menikah lagi? Meninggalkan keluarga untuk waktu yang lama dengan kondisi seorang Alea yang divonis yang kata ia itu adalah penyakit terkutuk? bukankah Tuhan Maha Membolak-balikkan hati? Dimana keadilan Tuhan? Dimana pembelaan Tuhan ketika ia dijauhi oleh mereka karena penyakit seribu wajah ini? 

Kalau bisa ia bernegosiasi pada Tuhan, ia lebih memilih untuk hidup sederhana seperti dahulu dengan keluarga yang utuh. Tidak ada kebencian di tengah-tengah mereka. Tidak ada benda-benda yang mendadak menjadi hantu terbang kesana-kemari. Tidak ada itu yang namanya,

Aku seperti tidak memiliki Papa. Jasadnya aku miliki, tetapi jiwanya sudah milik “jangkrik” lain. Wanita yang paling ku benci dalam hidup, yang datang tiba-tiba merenggut Papa dan menghancurkan keluargaku. Membuat Mama seperti mayat hidup dengan bayang-bayang kebimbangan dalam setiap langkahnya.

Aku benci wanita itu!

Tapi aku sadar, kebencian terhadap sesuatu hanya mendatangkan kebencian-kebencian yang lain. Hidupku menjadi tidak damai, jiwaku kosong. Aku berjalan ke arah Tuhan, dan Tuhan berlari dengan tersenyum ke arahku. Membangunkanku dari mimpi buruk kehidupan. Menyadarkanku dengan lentera yang membawaku ke titik terang. Memberiku banyak pelajaran dari apa yang terjadi di sekililingku. “Seandainya, aku mengetahuinya sejak awal,” tapi itu bukanlah suatu jawaban. 

Dan aku pikir, ada banyak hal dalam hidup ini yang tidak dapat kita pahami. Cukup dengan kita lihat seperti apa Tuhan dengan indahnya melukis kehidupan setiap orang. Dan aku percaya, Pelangi yang indah berawal dari awan yang gelap. Elang, Doni, dan sahabat-sahabatku yang setia menjadi pelangi kala hujan itu reda. Rasanya, ingin sekali meminta kepada Tuhan untuk mengirimkan hujan berkali-kali agar pelangi yang ku dapat semakin banyak. 

Terimakasih Tuhan, atas perjalanan hidup yang menyenangkan :)

Senin, 03 Oktober 2016

Semesta Alea - PART OF LUPUS BERSAMA ALEA



Kaki mungil itu terkubur dalam pasir putih. Berdebam dengan ombak yang menjilat betisnya. Biji mata mungilnya bulat hitam pekat bersinar diterpa cahaya matahari. Rambutnya yang dikuncir tengah itu menari-nari terbawa angin pantai. Pipinya tembam menggemaskan. Barisan giginya rapi terlihat ketika tertawa. Tertawa tanpa beban. Gelang kaki berirama senada dengan langkahnya diatas pasir putih. Berlari dengan ayunan tangan yang membawa sebuah mainan. Topi pantai pinknya jatuh terbawa angin.  Layang-layang berbentuk serangga terbang itu terbang dengan indah. Kupu-kupu besar melayang menghiasi langit pantai besama desauan angin pantai. Sesekali melihat ke arah layang-layang yang ia terbangkan. Bersenandung, untuk kemudian bernyanyi.

Kupu-kupu yang lucu
Kemana engkau terbang
Hilir-mudik mencari
Bunga-bunga yang indah

 Ia tersenyum saat lensa kamera mengarah pada wajahnya, dan bersahut,

“lagi Pah!”

                                                                                   

                                               
***

Hey kawan. Perkenalkan, namaku Alea Fallanda Janua. Aku besar di sebuah pulau terbesar ketiga di dunia. Borneo.  Tepatnya di Pontianak. Aku labil, moody, dan menyebalkan. Dari kecil aku tidak dekat dengan siapa-siapa. Dari kecil aku menjadi bahan olok-olok temanku. Have no friends.

Apa kau masih ingat mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial saat Sekolah Dasar? Pontianak adalah ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Apa kau masih ingat sungai terpanjang di Indonesia? itupun ada di Pontianak. Sungai Kapuas, namanya. Penduduk di kotaku, mayoritas adalah etnis Tionghoa. Di kota yang multikultural ini keberagaman etnis bukanlah suatu hal yang bisa menyulut konflik. Penduduk kota Pontianak memiliki kesadaran toleransi yang tinggi. Selain etnis Tionghoa, terdapat etnis Melayu, Bugis, Jawa, dan Dayak.  Seperti kedua orangtuaku yang berbeda etnis.

Ramainya Pontianak ketika perayaan pesta tahun baru imlek dan cap gomeh menjadi pemandangan yang unik. Masjid disini lumayan banyak. Jadi tidak perlu khawatir untuk menunaikan ibadah saat berlibur ke kota kelahiranku. Sebab islam pun sudah lama tersebar di Pontianak.

Aku jatuh cinta dengan alam Pontianak. Pantainya obat bius penyemangatku. Terkadang, aku pergi ke tepian dermaga melihat kesibukan dunia pelayaran. Banyak kapal besar yang merapat. Mulai dari kapal penumpang hingga kapal barang. Dermaga ini di dominasi oleh kapal-kapal barang. Aku suka dengan  bunyi peluit kapal yang nyaring. Setiap harinya, dermaga ini memiliki khas aroma ikan asin yang tercium dimana-mana. Berkarung-karung ikan asin diturunkan dari kapal besar yang dikirim dari berbagai pelosok di Pontianak. Ada juga kapal barang yang menurunkan ikan-ikan basah, sawit, dan karet. Dari tempatku berdiri, terlihat tangan-tangan itu terampil membongkar muat pasang barang-barang yang diturunkan dari kapal.

Pontianak memiliki kapal khas yang disebut klotok. Ukuran klotok ini sedang, tidak kecil seperti perahu nelayan, dan tidak pula sebesar kapal barang. Waktu kecil, aku berpikir mungkin karena kapal ini memiliki bunyi khas “klotok-klotok” yang ku dengar ketika aku membelah Sungai Kapuas bersama penumpang lain.
Klotok cukup muat dengan penumpang juga kendaraan bermotor. Tarif harganya pun masih terbilang murah pada zamannya. Penumpang kapal tidak perlu berebut tempat duduk, karena klotok biasanya memiliki sisi kanan-kiri yang menyisakan lantai papan selebar sekian meter. Kalau kau ingin menikmati semilir angin laut dan suasana senja di muara Sungai Kapuas, kau bisa menggunakan klotok untuk memanjakannya.

Aku senang berlama-lama di dermaga. Menghabiskan waktu senja disana. Menyaksikan bola bundar berwarna jingga itu terbenam perlahan di kaki langit cakrawala. Semilir angin yang menyejukkan menjadikan tempat ini begitu nyaman. Sejauh mata memandang siluet pepohonan menghiasi kala senja. Tak mau kalah, biasanya para pedagang pun ikut meramaikan dermaga. Suara mereka saling beradu, menawarkan dagangan.

Ada hal yang selalu menarik dari kota kelahiranku. Seperti padatnya Tugu Khatulistiwa Pontianak yang diadakan pada waktu tertentu. Tugu ini menjadi primadona di kotaku. Banyak tourist mengunjungi kota ini. Kalau sedang beruntung, aku bisa bertemu tourist dan bersapa ria sekadarnya. Kotaku memiliki banyak miniatur Tugu Khatulistiwa sebagai cendera mata. Kalau aku tidak salah ingat, waktu usiaku empat tahun, Papa pernah membelikan miniatur tugu yang aku pilih sendiri.  Aku sempat mengunjungi Keraton Kadariyah saat usiaku menginjak empat belas tahun. Letak istana kesultanan ini ialah seratus meter di sebelah selatan Masjid Jami’. Sekarang istana keraton ini digunakan sebagai museum.

Suhu di kotaku cukup ekstrem. Jika datang hujan, akan deras sekali rintikannya. Pada saat kemarau datang, terik matahari bisa menyengat. Akan tetapi, Pontianak di dominasi oleh kemarau. Udaranya panas sekali.  Aku sudah terbiasa dengan cuaca yang berubah-ubah di kota ini. Adalah candu dan penawar rindu terhadap kota kelahiran ini. Banyak hal yang aku lakukan saat kedua orang tuaku masih baik-baik saja. Wajah itu selalu ku nantikan setiap senja. Wajah khas suku batak asli. Wajah Papa.

“Penyakitan,” ialah julukan yang tante berikan padaku kala itu. Aku baru bisa bergaul dengan orang sekitar semenjak kelas delapan  Sekolah Menengah Pertama. Pada saat itu, gejala itu muncul untuk yang pertama kalinya. Aku menjadi putri  istana saat usiaku tiga belas tahun, tepatnya sebelum kadoNya sampai dalam hidupku.

Teman-teman hanya datang ketika mereka butuh denganku. Aku tumbuh di keluarga yang sederhana. Sejak kecil aku sudah mengenal Tuhan, tapi tidak dengan mengenal diriku. Bahkan aku tidak mengetahui kewajiban seorang perempuan untuk menutup aurat. Aku bebas mengenakan pakaian terbuka yang aku mau. Aku mengenalNya lewat apa yang terjadi pada diriku serta berbagai macam hal yang aku amati. Ekonomi keluargaku membaik saat aku menginjak  kelas enam Sekolah Dasar.  Semenjak itu, Tuhan pinjamkan segala materi kepada orangtuaku. Dan pada saat itu pula, duniaku berubah seperti monster yang menyeramkan.


                                                           


Aku teringat minggu pagi kala itu.

“Pagi Pa.. pagi Ma..” sapaku sepagi ini. Cahaya matahari menelusup masuk melalui celah-celah jendela. Terkumpul di satu ruangan yang tidak luas.
Ini hari minggu, aku merajuk pada keduanya agar pergi ke Tugu Khatulistiwa Pontianak. Kecupan mendarat di kening mereka. Papa berjanji satu minggu yang lalu. Aku ingin menagihnya pagi ini.

“Pa.. ingat janji Papa kan?” aku menyengir kuda. Rambut panjangku yang terkuncir sempat bergerak terbawa angin. Rumah ini begitu sempit. Jarak jendela saja amat dekat dengan tempatku berdiri.

“ingatlah! Masa Papa kau ini pelupa hah?  isi perut kau dulu sana. Nanti kau sakit pula kalau tak makan terlebih dahulu,” jawab Papa.

Jarak rumah ke Tugu Khatulistiwa memang tidak dekat. Sebagai pengganti untuk menempuh jaraknya, Papa bekerja lembur demi menuruti permintaan anak bungsu perempuannya. Transportasi sudah cukup mahal kala itu. Miniatur tugu khatulistiwa menjadi oleh-oleh yang ku bawa pulang.

Aku sangat suka dengan pantai. Tak perlu membayar mahal untuk mengunjungi tempat ini. Pantai murah meriah, kawan. Karena letak pantai tidak jauh dari rumahku. Cukup dengan berjalan kaki bersama kakakku, aku bisa menikmati keindahan pantai Pontianak. Bermain pasir sesukaku sampai aku lelah dan meminta untuk pulang.  Kisah masa kecilku begitu penuh dengan senyuman.


                                                 
***


”Alea!”  Begitu teman menyebut namaku. Mama wanita berdarah Indonesia dengan campuran Ankara sebagai ibu kota negaranya. Papa seorang laki-laki berdarah batak asli. Aku seorang anak perempuan yang istimewa dari sepasang manusia  yang Tuhan pilih. Bagaimana tidak istimewa, jikalau Dia hanya menghendaki untuk beberapa orang  saja di dunia ini yang mendapatkan pemberian istimewa. Ini kado spesial dariNya.  Awalnya aku bersikeras untuk menolak kado itu. Aku marah atas kado yang Dia tujukan khusus yang kata orang itu untuk mereka yang terpilih.

Aku sempat memiliki segalanya. Kehidupan mewah, serba ada, transportasi bisa ku gunakan dengan mudah dan semaunya, orang tua yang lengkap, kesehatan, dan  kemanapun aku pergi tak ada kata tidak. Semua terpenuhi dengan baik. Semakin aku menginginkan sesuatu, akan selalu ada rasa haus yang harus dibayar dengan kesenangan. Bak seorang putri di istana, tidak perlu sulit untuk mendapatkan semua itu.  Tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiranku jika itu semua akan hilang pada masanya.

Kala itu usiaku tiga belas tahun. Di usia inilah aku mencicipi menjadi orang berada. Yang aku tahu adalah bermain, bermain, dan bermain. Menghabiskan uang dalam saku, bersenda gurau hangout bersama teman, hanya ada bahagia dalam hidupku.Tidak ada yang namanya larangan tidak boleh pergi kesana. Aku selalu mendapat akses keluar rumah dengan mudahnya. Itu bagian roda atas kehidupanku.

Aku sempat merasakan posisi terbawah dalam hidup. Aku sempat hidup serba dalam keterbatasan. Sampai-sampai aku pernah merasakan tidur sekamar ramai-ramai  bersama suster dan nenekku . Kalau banjir datang, aku mengungsi. Orang-orang disekitar rumahku tidak ada satupun yang berkeinginan untuk menapakkan kakinya di lantai rumahku.Tapi aku bersyukur, semua itu adalah bagian dari proses kedekatanku dengan Tuhan.

Dahulu sebelum semuanya berubah, sebelum adanya pertikaian yang menyeramkan, semua terasa baik-baik saja. Aku selalu merasakan bahagia meskipun harta tidak berlimpah ruah. Aku sempat merasakan pahit manisnya kehidupan. Sebab itu, kalau boleh bernegosiasi pada Tuhan, aku ingin kembali ke masa  dimana aku bersama keluarga hidup dalam senyuman. Kebahagiaan selalu hadir di tengah-tengah keluarga. Jangankan  sebuah tangis, kesedihan pun akan berpikir tujuh keliling untuk menghampiri keluarga kami.

Walaupun kata orang hidupku sulit, aku tidak pernah menyesali pilihan Tuhan untukku. Meskipun dahulu rezeki orang tuaku tidak sebanyak hari ini, aku tetap bersyukur karena bisa melihat senyuman  dari mereka.

Bagiku itu sudah lebih dari cukup. Adalah kebahagiaan yang menentramkan berada di tengah-tengah mereka. Mungkin inilah masa-masa yang disebut roda bawah kehidupan oleh kebanyakan manusia. Lupa akan pemberian Tuhan. Ada satu hal yang selalu luput dari rasa syukur manusia,  mereka lupa bahwa kebahagiaan tidak hanya datang dari harta yang berlimpah saja. Semakin banyak yang kau miliki, semakin banyak pula pertanggung jawaban kelak di akhirat nanti.

Dahulu ketika semuanya belum berubah, aku masih bisa merasakan kasih sayang dari Papa. Walaupun dari kecil aku sudah terbiasa oleh bentakan karena Papa temperamental. Meskipun begitu, masih ada kedamaian yang aku lihat ketika Mama bersama Papa. Aku sangat sayang pada Papa. Semua itu ada sebelum mimpi buruk menyapa diriku.

Dahulu hidup ku begitu indah. Selalu sehat, bebas memakan makanan apapun yang aku mau, bisa melakukan apapun yang aku mau, pergi kemanapun dan lain lain. Sampai aku lupa, bahwa ada hari dimana semua itu akan raib begitu saja. Seperti para pesulap yang dapat menghilangkan benda-benda dalam sekejap. Seperti dalam hitungan  detik memejamkan mata saat debu melipir masuk pada retina. Mencoba untuk mengusir debu yang ada. Lalu…….. saat membuka mata, ternyata terasa lebih pedih.



Mau tahu lanjutannya? Yuk follow saya di wattpad @rasailulasywaq atau bisa Klik Link berikut
Lupus Bersama Alea

SINOPSIS BIARKAN MENGALIR SEPERTI AIR

Alea, remaja enam belas tahun yang berulang tahun setiap bulan Januari tidak pernah berharap Tuhan mendatangkan sahabat seperti seriga...