Kaki mungil itu terkubur dalam pasir
putih. Berdebam dengan ombak yang menjilat betisnya. Biji mata mungilnya bulat
hitam pekat bersinar diterpa cahaya matahari. Rambutnya yang dikuncir tengah
itu menari-nari terbawa angin pantai. Pipinya tembam menggemaskan. Barisan
giginya rapi terlihat ketika tertawa. Tertawa tanpa beban. Gelang kaki berirama
senada dengan langkahnya diatas pasir putih. Berlari dengan ayunan tangan yang
membawa sebuah mainan. Topi pantai pinknya jatuh terbawa angin. Layang-layang berbentuk serangga terbang itu
terbang dengan indah. Kupu-kupu besar melayang menghiasi langit pantai besama
desauan angin pantai. Sesekali melihat ke arah layang-layang yang ia
terbangkan. Bersenandung, untuk kemudian bernyanyi.
Kupu-kupu
yang lucu
Kemana
engkau terbang
Hilir-mudik
mencari
Bunga-bunga
yang indah
Ia tersenyum saat lensa kamera mengarah pada
wajahnya, dan bersahut,
“lagi Pah!”
***
Hey kawan. Perkenalkan, namaku Alea
Fallanda Janua. Aku besar di sebuah pulau terbesar
ketiga di dunia. Borneo. Tepatnya di Pontianak. Aku labil, moody, dan menyebalkan. Dari kecil aku
tidak dekat dengan siapa-siapa. Dari kecil aku menjadi bahan olok-olok temanku.
Have no friends.
Apa
kau masih ingat mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial saat Sekolah Dasar?
Pontianak adalah ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Apa kau masih ingat sungai
terpanjang di Indonesia? itupun ada di Pontianak. Sungai Kapuas, namanya. Penduduk di kotaku, mayoritas adalah
etnis Tionghoa. Di kota yang multikultural ini keberagaman etnis bukanlah suatu
hal yang bisa menyulut konflik. Penduduk kota Pontianak memiliki kesadaran
toleransi yang tinggi. Selain etnis Tionghoa, terdapat etnis Melayu, Bugis,
Jawa, dan Dayak. Seperti kedua orangtuaku yang berbeda etnis.
Ramainya
Pontianak ketika perayaan pesta tahun baru imlek dan cap gomeh menjadi pemandangan yang unik. Masjid disini lumayan
banyak. Jadi tidak perlu khawatir untuk menunaikan ibadah saat berlibur ke kota
kelahiranku. Sebab islam pun sudah lama tersebar di Pontianak.
Aku
jatuh cinta dengan alam Pontianak. Pantainya obat bius penyemangatku. Terkadang,
aku pergi ke tepian dermaga melihat kesibukan dunia pelayaran. Banyak kapal
besar yang merapat. Mulai dari kapal penumpang hingga kapal barang. Dermaga ini
di dominasi oleh kapal-kapal barang. Aku suka dengan bunyi peluit kapal yang nyaring. Setiap
harinya, dermaga ini memiliki khas aroma ikan asin yang tercium dimana-mana.
Berkarung-karung ikan asin diturunkan dari kapal besar yang dikirim dari
berbagai pelosok di Pontianak. Ada juga kapal barang yang menurunkan ikan-ikan
basah, sawit, dan karet. Dari tempatku berdiri, terlihat tangan-tangan itu
terampil membongkar muat pasang barang-barang yang diturunkan dari kapal.
Pontianak
memiliki kapal khas yang disebut klotok. Ukuran klotok ini sedang, tidak kecil
seperti perahu nelayan, dan tidak pula sebesar kapal barang. Waktu kecil, aku
berpikir mungkin karena kapal ini memiliki bunyi khas “klotok-klotok” yang ku
dengar ketika aku membelah Sungai Kapuas bersama penumpang lain.
Klotok
cukup muat dengan penumpang juga kendaraan bermotor. Tarif harganya pun masih
terbilang murah pada zamannya. Penumpang kapal tidak perlu berebut tempat
duduk, karena klotok biasanya memiliki sisi kanan-kiri yang menyisakan lantai
papan selebar sekian meter. Kalau kau ingin menikmati semilir angin laut dan
suasana senja di muara Sungai Kapuas, kau bisa menggunakan klotok untuk
memanjakannya.
Aku
senang berlama-lama di dermaga. Menghabiskan waktu senja disana. Menyaksikan
bola bundar berwarna jingga itu terbenam perlahan di kaki langit cakrawala.
Semilir angin yang menyejukkan menjadikan tempat ini begitu nyaman. Sejauh mata
memandang siluet pepohonan menghiasi kala senja. Tak mau kalah, biasanya para
pedagang pun ikut meramaikan dermaga. Suara mereka saling beradu, menawarkan
dagangan.
Ada
hal yang selalu menarik dari kota kelahiranku. Seperti padatnya Tugu
Khatulistiwa Pontianak yang diadakan pada waktu tertentu. Tugu ini menjadi
primadona di kotaku. Banyak tourist
mengunjungi kota ini. Kalau sedang beruntung, aku bisa bertemu tourist dan bersapa ria sekadarnya.
Kotaku memiliki banyak miniatur Tugu Khatulistiwa sebagai cendera mata. Kalau
aku tidak salah ingat, waktu usiaku empat tahun, Papa pernah membelikan
miniatur tugu yang aku pilih sendiri.
Aku sempat mengunjungi Keraton Kadariyah saat usiaku menginjak empat
belas tahun. Letak istana kesultanan ini ialah seratus meter di sebelah selatan
Masjid Jami’. Sekarang istana keraton ini digunakan sebagai museum.
Suhu
di kotaku cukup ekstrem. Jika datang hujan, akan deras sekali rintikannya. Pada
saat kemarau datang, terik matahari bisa menyengat. Akan tetapi, Pontianak di
dominasi oleh kemarau. Udaranya panas sekali. Aku sudah terbiasa dengan cuaca yang
berubah-ubah di kota ini. Adalah candu dan penawar rindu terhadap kota
kelahiran ini. Banyak hal yang aku lakukan saat kedua orang tuaku masih
baik-baik saja. Wajah itu selalu ku nantikan setiap senja. Wajah khas suku
batak asli. Wajah Papa.
“Penyakitan,”
ialah julukan yang tante berikan padaku kala itu. Aku baru bisa bergaul dengan
orang sekitar semenjak kelas delapan
Sekolah Menengah Pertama. Pada saat itu, gejala itu muncul untuk yang
pertama kalinya. Aku menjadi putri istana saat usiaku tiga belas tahun, tepatnya
sebelum kadoNya sampai dalam hidupku.
Teman-teman
hanya datang ketika mereka butuh denganku. Aku tumbuh di keluarga yang
sederhana. Sejak kecil aku sudah mengenal Tuhan, tapi
tidak dengan mengenal diriku. Bahkan aku tidak mengetahui kewajiban seorang
perempuan untuk menutup aurat. Aku bebas mengenakan pakaian terbuka yang aku
mau. Aku mengenalNya lewat apa yang terjadi pada diriku serta berbagai macam
hal yang aku amati. Ekonomi keluargaku membaik saat aku menginjak kelas enam Sekolah Dasar. Semenjak itu, Tuhan pinjamkan segala materi
kepada orangtuaku. Dan pada saat itu pula, duniaku berubah seperti monster yang
menyeramkan.
Aku teringat minggu pagi kala itu.
“Pagi Pa.. pagi Ma..” sapaku sepagi
ini. Cahaya matahari menelusup masuk melalui celah-celah jendela. Terkumpul di
satu ruangan yang tidak luas.
Ini hari minggu, aku merajuk pada
keduanya agar pergi ke Tugu Khatulistiwa Pontianak. Kecupan mendarat di kening
mereka. Papa berjanji satu minggu yang lalu. Aku ingin menagihnya pagi ini.
“Pa.. ingat janji Papa kan?” aku
menyengir kuda. Rambut panjangku yang terkuncir sempat bergerak terbawa angin.
Rumah ini begitu sempit. Jarak jendela saja amat dekat dengan tempatku berdiri.
“ingatlah! Masa Papa kau ini pelupa
hah? isi perut kau dulu sana. Nanti kau
sakit pula kalau tak makan terlebih dahulu,” jawab Papa.
Jarak rumah ke Tugu Khatulistiwa
memang tidak dekat. Sebagai pengganti untuk menempuh jaraknya, Papa bekerja
lembur demi menuruti permintaan anak bungsu perempuannya. Transportasi sudah
cukup mahal kala itu. Miniatur tugu khatulistiwa menjadi oleh-oleh yang ku bawa
pulang.
Aku sangat suka dengan pantai. Tak
perlu membayar mahal untuk mengunjungi tempat ini. Pantai murah meriah, kawan.
Karena letak pantai tidak jauh dari rumahku. Cukup dengan berjalan kaki bersama
kakakku, aku bisa menikmati keindahan pantai Pontianak. Bermain pasir sesukaku
sampai aku lelah dan meminta untuk pulang.
Kisah masa kecilku begitu penuh dengan senyuman.
***
”Alea!” Begitu teman menyebut namaku. Mama wanita berdarah
Indonesia dengan campuran Ankara sebagai ibu kota negaranya. Papa seorang
laki-laki berdarah batak asli. Aku seorang anak perempuan yang istimewa dari
sepasang manusia yang Tuhan pilih.
Bagaimana tidak istimewa, jikalau Dia hanya menghendaki untuk beberapa orang saja di dunia ini yang mendapatkan pemberian
istimewa. Ini kado spesial dariNya.
Awalnya aku bersikeras untuk menolak kado itu. Aku marah atas kado yang
Dia tujukan khusus yang kata orang itu
untuk mereka yang terpilih.
Aku sempat memiliki segalanya.
Kehidupan mewah, serba ada, transportasi bisa ku gunakan dengan mudah dan
semaunya, orang tua yang lengkap, kesehatan, dan kemanapun aku pergi tak ada kata tidak. Semua
terpenuhi dengan baik. Semakin aku menginginkan sesuatu, akan selalu ada rasa
haus yang harus dibayar dengan kesenangan. Bak seorang putri di istana, tidak
perlu sulit untuk mendapatkan semua itu.
Tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiranku jika itu semua akan
hilang pada masanya.
Kala itu usiaku tiga belas tahun. Di
usia inilah aku mencicipi menjadi orang berada. Yang aku tahu adalah bermain,
bermain, dan bermain. Menghabiskan uang dalam saku, bersenda gurau hangout bersama teman, hanya ada bahagia
dalam hidupku.Tidak ada yang namanya larangan tidak boleh pergi kesana. Aku
selalu mendapat akses keluar rumah dengan mudahnya. Itu bagian roda atas
kehidupanku.
Aku sempat merasakan posisi terbawah
dalam hidup. Aku sempat hidup serba dalam keterbatasan. Sampai-sampai aku
pernah merasakan tidur sekamar ramai-ramai bersama suster dan nenekku . Kalau banjir
datang, aku mengungsi. Orang-orang disekitar rumahku tidak ada satupun yang
berkeinginan untuk menapakkan kakinya di lantai rumahku.Tapi aku bersyukur,
semua itu adalah bagian dari proses kedekatanku dengan Tuhan.
Dahulu sebelum semuanya berubah,
sebelum adanya pertikaian yang menyeramkan, semua terasa baik-baik saja. Aku
selalu merasakan bahagia meskipun harta tidak berlimpah ruah. Aku sempat
merasakan pahit manisnya kehidupan. Sebab itu, kalau boleh bernegosiasi pada
Tuhan, aku ingin kembali ke masa dimana
aku bersama keluarga hidup dalam senyuman. Kebahagiaan selalu hadir di
tengah-tengah keluarga. Jangankan sebuah
tangis, kesedihan pun akan berpikir tujuh keliling untuk menghampiri keluarga
kami.
Walaupun kata orang hidupku sulit,
aku tidak pernah menyesali pilihan Tuhan untukku. Meskipun dahulu rezeki orang
tuaku tidak sebanyak hari ini, aku tetap bersyukur karena bisa melihat
senyuman dari mereka.
Bagiku itu sudah lebih dari cukup.
Adalah kebahagiaan yang menentramkan berada di tengah-tengah mereka. Mungkin
inilah masa-masa yang disebut roda bawah kehidupan oleh kebanyakan manusia.
Lupa akan pemberian Tuhan. Ada satu hal yang selalu luput dari rasa syukur
manusia, mereka lupa bahwa kebahagiaan
tidak hanya datang dari harta yang berlimpah saja. Semakin banyak yang kau
miliki, semakin banyak pula pertanggung jawaban kelak di akhirat nanti.
Dahulu ketika semuanya belum
berubah, aku masih bisa merasakan kasih sayang dari Papa. Walaupun dari kecil
aku sudah terbiasa oleh bentakan karena Papa temperamental. Meskipun begitu,
masih ada kedamaian yang aku lihat ketika Mama bersama Papa. Aku sangat sayang
pada Papa. Semua itu ada sebelum mimpi buruk menyapa diriku.
Dahulu hidup ku begitu indah. Selalu
sehat, bebas memakan makanan apapun yang aku mau, bisa melakukan apapun yang
aku mau, pergi kemanapun dan lain lain. Sampai aku lupa, bahwa ada hari dimana
semua itu akan raib begitu saja. Seperti para pesulap yang dapat menghilangkan
benda-benda dalam sekejap. Seperti dalam hitungan detik memejamkan mata saat debu melipir masuk
pada retina. Mencoba untuk mengusir debu yang ada. Lalu…….. saat membuka mata,
ternyata terasa lebih pedih.
Mau tahu lanjutannya? Yuk follow saya di wattpad @rasailulasywaq atau bisa Klik Link berikut
Lupus Bersama Alea