Minggu, 17 Mei 2015

Rindu

Lagi-lagi aku menulis hal yang sama. Lagi-lagi jariku memaksa untuk menceritakanmu kembali. Aku tidak peduli jikalau diluar sana, banyak mata yang bosan membaca tulisanku. Aku hanya ingin menyampaikan sebuah rindu. Rindu yang teramat dalam. Memenuhi ruang hatiku yang sempit. Amat sempit.

Bulan ini, adalah tahun ke-dua pertemuan kita. Aku tak peduli kau ingat atau tidak, itu tak penting. Disini, di kamarku yang amat sederhana, hanya di temani bantal bantal yang sengaja ku simpan di sampingku, dan bersama suara kipas yang berputar tiada kenal lelah. Panas. Siang ini matahari terik sekali. Dan tidak tahu darimana datangnya rindu, ia berhasil membuatku tenggelam dalam tulisanku ini. Ya, aku rindu. Rindu pada penghuni langit. Ah, mungkin kau tidak tahu siapa penghuni langit yang ku maksud. Bagaimana kau bisa tahu, jikalau diriku pun sama sekali belum pernah menceritakan tentang penghuni langit itu. Maukah kau tahu? maukah kau mendengarnya? Baiklah, aku akan menceritakan siapa dia "penghuni langit" yang ku maksud.

Dia datang bersama hujan. Pakaiannya serba hitam saat itu. Dia sama sekali tidak seram. Wajahnya dingin, amat dingin. Dia membawa sebuah tas di punggungnya. Apakah dia hantu? tidak, dia bukan hantu. Bagaimana mungkin hantu memiliki senyuman yang amat manis? Oh, apakah dia Pangeran? tidak, dia bukan pangeran. Sudah ku bilang, dia datang bersama hujan, bukan bersama kuda poninya. Dia sama seperti kita ya kak? iya, dia sama seperti kita. Bak pangeran langit. Dia benar-benar turun dari langit. Turun bersama hujan. Hujan yang jatuh di hari sabtu. Ingat sekali, waktu itu sabtu sore. Hanya aku dan sahabatku yang bersedia menjadi penunggu koridor gedung ini. Ah ternyata aku salah, di seberang sana, ada sekumpulan orang ber-jas. Warnanya hitam. Mereka memakai celana bahan berwarna abu-abu. Lengkap dengan seragam kebanggaan sekolah mereka. Aku tidak tahu, siapa mereka dan untuk apa mereka berkumpul di kelas yang letaknya di depan koridor tempatku berdiri saat itu.

Satu jam berlalu. Langit tampak tak bersahabat sekali. Lihatlah, langit indah yang biasa menyelimuti sekolah ini,  kini begitu menakutkan. Langit sore itu tampak berwarna abu-abu. Bulir air hujan yang jatuh pun semakin besar. Satu-dua petir mengeraskan suaranya tanpa permisi. Alamat diriku akan terpaksa berlama-lama di koridor ini. Dua jam yang lalu, penghuni gedung sekolah ini memutuskan pulang lebih cepat. Seharusnya, aku pulang lebih awal. Tapi tidak, sebab ada sesuatu yang harus ku selesaikan ketika itu.

Lelah berdiri, kursi kayu dekat sekat dinding itupun mulai menggoda. Apa salahnya mengambil kursi kayu itu bukan? sayangnya, hanya ada satu. Tak mungkin aku duduk nyaman di kursi kayu itu, sedangkan sahabatku, aku biarkan berdiri menatap hujan.

Bagaimana lanjutannya kak? Bagaimana dengan orang-orang ber-jas hitam tadi?

Mereka masuk di dalam kelas.Kalau ingatanku baik, kelas itu ditempati oleh adik kelas X. Tepat sekali di sebelah ruang guru. Suara mereka terdengar sayup-sayup dari luar. Tak ada niat untuk melirik sedikitpun ke arah kelas mereka. Tak penting. Beberapa menit berlalu, kelas itu mulai ricuh. Aku dan sahabatku berjalan pelan, melangkahkan kaki beberapa meter menjauhi kelas tadi. Posisi yang pas untuk menikmati hujan sore itu. Bercengkrama satu sama lain. Satu-dua bunga yang ada di hadapanku, menarik perhatianku. Warnanya merah muda, daunnya berwarna hijau segar. Ah, kapan hujan ini akan berhenti?

Aliran selokan amat deras. Membuat satu-dua sampah makanan ringan terbawa hanyut entah kemana. Ban mobil guru yang masih terparkir pun ikut tenggelam sebagian. Kini hujan makin meradang. Langit semakin seram. Ah, peduli sekali warnanya, yang aku tahu, aku hanya ingin pulang, sekarang! Ini sudah terlalu sore.

"Liat sandal lewat sini?," suara besar sempat mengagetkan telingaku. " ah, apa?". Sosok itu mengulang kembali pertanyaannya. Aku baru ingat, sandal jepit berwarna hitam yang ikut terbawa arus dengan sampah makanan tadi. "Di bawah mobil kak."

Sebenarnya, yang hanyut itu adalah pasangan dari sandal yang ku genggam dalam tangan. Sepertinya, orang itu tidak menyadari bahwa pasangan sandalnya ada di hadapannya sekarang. "Ini satu lagi," takut-takut memberikan sandal setelah orang itu mengambil pasangannya dibawah mobil. "Iya, terimakasih dik."

Jarak sekian meter, dari arah belakang orang tadi muncul-lah ia, "penghuni langit". Pakaiannya berwarna hitam, kepalanya terdapat kain yang melingkarinya. Tidak tahu apa tulisannya, aku tidak sempat membacanya. Dia tertawa, lalu tersenyum manis. Amat manis. Lihatlah, seperti yang ku bilang, dia datang bersama hujan. Tidak tahu kenapa, hujan mulai mereda. Pas sekali dengan hilangnya senyuman manis itu. Kini langit mulai menampakkan wajah aslinya . Indah. Senja mulai tiba. Warna oranye menghiasi langit sore ini. Aku menatap takzim pelangi yang terbentang indah di atas langit sana. Tidak ada yang sia-sia dalam hal penantian. Jika saja aku pulang terlebih dahulu, bisa jadi aku kehilangan peristiwa indah itu. Ketika hujan mulai mereda, langit yang mulai sibuk memoles wajahnya kembali, dan seketika itu juga pelangi muncul dibalik senja.

Semenjak itu, aku berpisah dengan penghuni langit itu. Entah apa rencana-Nya, aku bertemu kembali dengannya dalam rumah-Nya. Dan semenjak itu pula, aku selalu merindukan sosoknya saat langit mulai gelap, saat senja mulai tiba, saat hujan reda dengan pelangi yang indah nian. Tidak tahu kenapa, aku selalu membawa namanya dalam pelukan doa. Tidak tahu kenapa, aku senang sekali meletakkan namanya di atas langit sana. Menceritakan sosoknya yang saat ini mulai menghilang. Aku tidak tahu, apa makna menghilangnya penghuni langit bagi diriku. Yang aku tahu, hanya ada dua kemungkinan. Menghilang untuk pergi selamanya, ataukah menghilang untuk bertemu kembali dengannya.

Dunia senja, 17/05/15

SINOPSIS BIARKAN MENGALIR SEPERTI AIR

Alea, remaja enam belas tahun yang berulang tahun setiap bulan Januari tidak pernah berharap Tuhan mendatangkan sahabat seperti seriga...