Tak terasa, pertemuan dibalik
rinai hujan terhenti begitu saja.
Entah, gadis itu tidak tahu kapan persisnya pertemuan itu terjadi. Dan
dia percaya, apapun yang terjadi dalam hidup,
selalu ada campur tangan dari Sang Pemilik Kehidupan. Bahkan, pertemuan yang
belum lama terjadi diantara mereka adalah bagian dari skenario-Nya yang indah.
Gadis itu adalah tokoh utamanya, dan seseorang dengan mata khasnya yang dingin
adalah bagian dari kisah kehidupannya. Baginya, tiada penyesalan sampai
kapanpun. Gadis itu percaya, jikalau pemilik “mata dingin”
akan kembali dibalik senja bersama pelangi setelah hujan reda.
Hingga kejadian itu, kekacauan
yang ia lakukan bersama perempuan di penghujung malam, menjatuhkan bulir-bulir
air mata dari seorang gadis. Berharap ada tangan yang dengan relanya menyeka
bulir-bulir air mata di sudut matanya yang gelap. Sampai di waktu malam saat
semua terlelap, gadis itu mencurahkan isi hatinya kepada Sang Pemilik
Segalanya. Gadis itu tertegun sebentar. Bukan, bukan untuk menengadahkan
wajahnya ke langit kamar. Gadis itu lebih suka menceritakan isi hatinya dalam
sujud. Rakaat-demi rakaat tunai ia kerjakan. Di penghabisan malam ini, ia bebas
menceritakan semuanya. Ia pikir, saat-saat seperti ini memang pas untuk
mencurahkan isi hatinya yang kian meluap. Dalam sujudnya, bulir demi bulir air
mata terjatuh perlahan, isak tangis sayup-sayup terdengar. Sesekali memastikan dan
berharap cemas, khawatir penghuni rumah
lainnya terganggu oleh isakannya. Inilah waktu yang selalu ditunggu oleh gadis
itu. Berdua dengan rabb-Nya.
Lain halnya pada malam ini. Ada
yang berbeda yang ia sebut dalam sujudnya. Aneh, gadis itu selalu
menyebut-nyebut senja dalam sujudnya. Hal apa yang membuat nya begitu menyukai
senja? Tidak tahu maksudnya apa, bibirnya bergetar menyebut senja. Tertatih,
terbata-bata. Jika kau melihatnya sekarang, gadis itu sedang meluapkan
kesedihannya. Wajahnya yang selalu ceria kini berubah menjadi hujan. Bodohnya,
mengapa ia tak menciptakan penawarnya? Atau mungkin suatu bendungan yang besar
agar disetiap hujan datang, tidak meluber seperti ini. Atau mungkin gadis itu
tidak paham? Ternyata kalian salah, dia paham betul apa yang harus dia lakukan.
Jauh hari, dia sudah menciptakan bendungan yang sangat besar. Entah apa
penyebabnya, sehingga air merembas keluar begitu saja. Atau jangan-jangan dia
membuatnya dengan asal-asalan? Sehingga celah-celah kecil di sekitar bendungan
menyebabkan air keluar perlahan. “Belum sembuh dari luka 3 tahun silam,”
lirihnya. OH TERNYATA!
Jikalau sabar ada batasnya, pada
hakikatnya itu bukanlah kesabaran. Sabar
itu tiada batasnya. Seperti kata yang pernah diucapkan pemilik “mata dingin.” Tidak ada yang salah bukan untuk menelaahnya
kembali? Ah, gadis itu selalu rindu
kalimat-kalimat yang pernah terucap dari lisan pemilik “mata dingin.” Dibalik kalimat yang sederhana, ada seseorang
yang berbahagia. Ah sudahlah, gadis itu benar. “Tidak akan ada yang bertahan
dalam permainan ini,” pekiknya tajam.
“Jika kau tidak menyudahinya,
biarkan aku yang keluar dari permainan ini!,” ucapnya dengan nada tinggi. Gadis
itu tidak bersungguh-sungguh menggerakkan bibirnya untuk berkata seperti itu.
Ia hanya berteriak dengan nada tinggi dalam hatinya. Wajahnya pucat pasi,
lelah. Gadis itu pernah bilang, tidak ada yang salah memberi kesempatan untuk
“seseorang” bahkan hingga ke-sekian
kalinya. Heran, seperti mengikat dirinya sendiri. Padahal, siapa pula yang mengundangnya untuk
mengikuti permainan ini?
Dengan percaya dan lancang, gadis
itu mengatakan, “senja tidak pernah berdusta!.”
Hey, biarkan gadis itu bermain dengan ilusinya. Terjebak didalam, dan tidak akan menemukan kunci yang ia buang dengan sengaja di tepi danau, “Danau Senja.”
Kata demi kata ia rangkai untuk
senja. Tak tahu, kapan ia harus mengakhiri kisah yang ia lalui bersama senja.
Memulainya saja tidak pernah, dia hanya senang menulis senja di buku hariannya.
Walaupun ia tahu, seindah apapun rangkaian kata yang ia buat, masih indah
skenario dari-Nya. Jangan pernah salahkan senja untuk yang ke-sekian kalinya.
Sebab, tidak pernah ada yang mengundangnya untuk datang. Hujan yang membuat
langkahnya sampai di hadapan gadis itu.
Sayangnya, sang pemilik “mata
dingin” mengulangi kesalahannya kembali. Berkali-kali gadis itu memaafkannya,
tetap saja. Hanya sementara sadarnya hahahaha.. Tak habis pikir, bagaimana ia
bisa melakukan hal yang sama dengan orang yang berbeda? Pikirnya, semua orang
bisa melakukannya. Lagi-lagi, gadis itu memaafkannya kembali namun tidak untuk
menetap.Di hari Ahad, gadis itu membuang semua hal yang berkaitan dengan
pemilik mata dingin itu. Maghrib ini
adalah hari ulang tahun pemilik mata dingin di seberang sana. Gadis itu pernah
membaca suatu artikel, dalam agamanya, pergantian hari dimulai dari adzan
maghrib. Sudahlah, tidak ada yang perlu disesali. Esok hari, adalah hari pemilik mata dingin. 12 Maret 2015, angka usianya bertambah. Semoga Allah memberkahi usianya.
“Jikalau kau bahagia bersamanya, jauh hari aku sudah merelakanmu. Menerima kau
pergi. Ku harap, tiada kau lupa dengan kata-katamu dengan seorang wanita yang
seharusnya begini, dan begitu. Ku harap, kau bisa mempertanggungjawabkan apa
yang telah kau katakan. Ku paham,
“aku adalah hal yang tak pernah kamu baca. Sedangkan kamu adalah hal selalu ku
tulis.”
Dan satu lagi, gadis itu menitip pesan lewat tulisannya, jangan pernah kembali
untuk menambahkan luka sisa tiga tahun silam.
“Cukup pemilik gelang merah saja, kau jangan,”
ujarnya. Cukup sampai disini.
Teruntuk senja yang selalu
disebut dalam doa..
Tak usah meminta gadis itu untuk mendoakanmu. Sebab, tanpa kau minta pun dia
selalu melakukannya diam-diam.
Tak perlu rasa khawatir yang berlebihan. Sebab, melihat kau di seberang sana
bersama “dia” yang membuatmu tersenyum pun itu lebih dari cukup bagi gadis itu.
Senja yang hilang,
Menulis tanpa harap untuk dibaca,
menatap dari kejauhan tanpa harap untuk ditengok kembali.
Coretan usil. Jangan diseriusin.
Hiks.