Sabtu, 21 Maret 2015

Terlalu Bodoh

Kak.. 
Untuk apa kau kembali? 
Bukankah senja belum saatnya datang?
Ah, kau hanya datang untuk membuat luka baru. Kau tahu, luka yang kau buat baru saja sembuh kurang dari dua pekan ini. Tega. Apa yang ada dalam pikiranmu sekarang?


Kak..
apa aku yang terlalu bodoh? 
Kenapa aku harus menyalahkan diriku sendiri? Apa kau berani menyalahkan perasaan itu? Kau sudah bahagia dengan wanita di sampingmu bukan? wanita di ujung kota sana. Kota yang sangat terkenal dengan makanan yang seringkali ayahku memberinya untukku. Ah, mungkin benar, aku yang terlalu bodoh.


Kak..
Jariku dengan ragu menekan layar ponsel yang mengarahkan ke sebuah jawaban "accept". Ah, sudah terlanjur. Ku ingat semua kalimat-kalimat yang pernah terlontar dari pesan bbm-mu. Dari sebuah chat kita yang sengaja ku screenshot, dan dengan bodohnya aku menyimpannya dengan rapih di sebuah folder. Folder yang siapapun tak akan pernah tahu dimana keberadaannya. Hanya aku yang tahu. Pun hanya aku yang dapat membukanya dengan menekan pin sebanyak empat nomor. Angka perpaduan tahun kelahiranku dengan tahun kelahiranmu. Tinggi sekali harapanku.


Kak.. 
Malam itu, bodohnya lagi dengan mudah jariku mengetik sebuah kalimat. Hmmm tidak, sebenarnya dua kalimat. Satu kalimat pernyataan, dan satunya lagi kalimat pertanyaan. Apa jawabanmu?
Dengan cerdasnya, kau menjawab, "ke invite kayaknya. Blablabla" sungguh, jawaban yang sangat tak ku harapkan.


Kak..
sudahlah, berhenti untuk membuat drama. Aku tidak terlalu pandai memainkan tokoh yang kau beri ini. Bolehkah aku mendengus sebal? sebal yang teramat sangat. Air mata yang terbiasa jatuh karenamu, kini hilang. Entahlah, aku tidak tahu kemana hilangnya air mata itu. Tidak jatuh sama sekali. Ku pikir, aku telah bisa melakukannya dengan baik. Ternyata tidak, malah semakin sulit. Aku harus bagaimana sekarang?


Kak.. 
Jangan memainkan sebuah perasaan. Aku paling tidak suka dengan laki-laki yang memainkan perasaan wanita. Bahkan, bisa membencinya kalaupun aku mau. Sayangnya, aku tidak bisa membencimu. Tidak bisa. Memaafkan berulang kali, hanya itu. Terlalu bodoh. 

Simpul tali yang kau ikat terlalu sulit untuk ku buka. Aku membutuhkan sebuah kunci baru. Tolong, jangan memperbanyak kunci-kunci yang lain. Akan semakin sulit nantinya. Sudahlah, aku tak mau berdebat lagi tentang ini. Sejak lama, aku sudah mempersilahkanmu pergi. Tolonglah, bantu aku untuk benar-benar menjauh.

Untuk ke-sekian kalinya, senja membuatku patah hati.

Rabu, 11 Maret 2015

Untukmu yang selalu ku sebut “SENJA”

Tak terasa, pertemuan dibalik rinai hujan terhenti begitu saja.   Entah, gadis itu tidak tahu kapan persisnya pertemuan itu terjadi. Dan dia percaya, apapun  yang terjadi dalam hidup, selalu ada campur tangan dari Sang Pemilik Kehidupan. Bahkan, pertemuan yang belum lama terjadi diantara mereka adalah bagian dari skenario-Nya yang indah. Gadis itu adalah tokoh utamanya, dan seseorang dengan mata khasnya yang dingin adalah bagian dari kisah kehidupannya. Baginya, tiada penyesalan sampai kapanpun. Gadis itu percaya, jikalau pemilik  “mata dingin”  akan kembali dibalik senja bersama pelangi setelah hujan reda.

Hingga kejadian itu, kekacauan yang ia lakukan bersama perempuan di penghujung malam, menjatuhkan bulir-bulir air mata dari seorang gadis. Berharap ada tangan yang dengan relanya menyeka bulir-bulir air mata di sudut matanya yang gelap. Sampai di waktu malam saat semua terlelap, gadis itu mencurahkan isi hatinya kepada Sang Pemilik Segalanya. Gadis itu tertegun sebentar. Bukan, bukan untuk menengadahkan wajahnya ke langit kamar. Gadis itu lebih suka menceritakan isi hatinya dalam sujud. Rakaat-demi rakaat tunai ia kerjakan. Di penghabisan malam ini, ia bebas menceritakan semuanya. Ia pikir, saat-saat seperti ini memang pas untuk mencurahkan isi hatinya yang kian meluap. Dalam sujudnya, bulir demi bulir air mata terjatuh perlahan, isak tangis sayup-sayup terdengar. Sesekali memastikan dan berharap cemas, khawatir  penghuni rumah lainnya terganggu oleh isakannya. Inilah waktu yang selalu ditunggu oleh gadis itu. Berdua dengan rabb-Nya.

Lain halnya pada malam ini. Ada yang berbeda yang ia sebut dalam sujudnya. Aneh, gadis itu selalu menyebut-nyebut senja dalam sujudnya. Hal apa yang membuat nya begitu menyukai senja? Tidak tahu maksudnya apa, bibirnya bergetar menyebut senja. Tertatih, terbata-bata. Jika kau melihatnya sekarang, gadis itu sedang meluapkan kesedihannya. Wajahnya yang selalu ceria kini berubah menjadi hujan. Bodohnya, mengapa ia tak menciptakan penawarnya? Atau mungkin suatu bendungan yang besar agar disetiap hujan datang, tidak meluber seperti ini. Atau mungkin gadis itu tidak paham? Ternyata kalian salah, dia paham betul apa yang harus dia lakukan. Jauh hari, dia sudah menciptakan bendungan yang sangat besar. Entah apa penyebabnya, sehingga air merembas keluar begitu saja. Atau jangan-jangan dia membuatnya dengan asal-asalan? Sehingga celah-celah kecil di sekitar bendungan menyebabkan air keluar perlahan. “Belum sembuh dari luka 3 tahun silam,” lirihnya. OH TERNYATA!

Jikalau sabar ada batasnya, pada hakikatnya itu bukanlah kesabaran.  Sabar itu tiada batasnya. Seperti kata yang pernah diucapkan pemilik “mata dingin.”  Tidak ada yang salah bukan untuk menelaahnya kembali? Ah,  gadis itu selalu rindu kalimat-kalimat yang pernah terucap dari lisan pemilik “mata dingin.”  Dibalik kalimat yang sederhana, ada seseorang yang berbahagia. Ah sudahlah, gadis itu benar. “Tidak akan ada yang bertahan dalam permainan ini,” pekiknya tajam.

“Jika kau tidak menyudahinya, biarkan aku yang keluar dari permainan ini!,” ucapnya dengan nada tinggi. Gadis itu tidak bersungguh-sungguh menggerakkan bibirnya untuk berkata seperti itu. Ia hanya berteriak dengan nada tinggi dalam hatinya. Wajahnya pucat pasi, lelah. Gadis itu pernah bilang, tidak ada yang salah memberi kesempatan untuk “seseorang”  bahkan hingga ke-sekian kalinya. Heran, seperti mengikat dirinya sendiri.  Padahal, siapa pula yang mengundangnya untuk mengikuti permainan ini?

Dengan percaya dan lancang, gadis itu mengatakan, “senja tidak pernah berdusta!.”
Hey, biarkan gadis itu bermain dengan ilusinya. Terjebak didalam, dan tidak akan menemukan kunci yang ia buang dengan sengaja di tepi danau, “Danau Senja.”

Kata demi kata ia rangkai untuk senja. Tak tahu, kapan ia harus mengakhiri kisah yang ia lalui bersama senja. Memulainya saja tidak pernah, dia hanya senang menulis senja di buku hariannya. Walaupun ia tahu, seindah apapun rangkaian kata yang ia buat, masih indah skenario dari-Nya. Jangan pernah salahkan senja untuk yang ke-sekian kalinya. Sebab, tidak pernah ada yang mengundangnya untuk datang. Hujan yang membuat langkahnya sampai di hadapan gadis itu.

Sayangnya, sang pemilik “mata dingin” mengulangi kesalahannya kembali. Berkali-kali gadis itu memaafkannya, tetap saja. Hanya sementara sadarnya hahahaha.. Tak habis pikir, bagaimana ia bisa melakukan hal yang sama dengan orang yang berbeda? Pikirnya, semua orang bisa melakukannya. Lagi-lagi, gadis itu memaafkannya kembali namun tidak untuk menetap.Di hari Ahad, gadis itu membuang semua hal yang berkaitan dengan pemilik mata dingin itu.  Maghrib ini adalah hari ulang tahun pemilik mata dingin di seberang sana. Gadis itu pernah membaca suatu artikel, dalam agamanya, pergantian hari dimulai dari adzan maghrib. Sudahlah, tidak ada yang perlu disesali. Esok hari, adalah hari pemilik mata dingin. 12 Maret 2015, angka usianya bertambah. Semoga Allah memberkahi usianya.

“Jikalau kau bahagia bersamanya, jauh hari aku sudah merelakanmu. Menerima kau pergi. Ku harap, tiada kau lupa dengan kata-katamu dengan seorang wanita yang seharusnya begini, dan begitu. Ku harap, kau bisa mempertanggungjawabkan apa yang telah kau katakan. Ku paham,
“aku adalah hal yang tak pernah kamu baca. Sedangkan kamu adalah hal selalu ku tulis.”
Dan satu lagi, gadis itu menitip pesan lewat tulisannya, jangan pernah kembali untuk menambahkan luka sisa tiga tahun silam.
 “Cukup pemilik gelang merah saja, kau jangan,” ujarnya.  Cukup sampai disini.

Teruntuk senja yang selalu disebut dalam doa..

Tak usah meminta gadis itu untuk mendoakanmu. Sebab, tanpa kau minta pun dia selalu melakukannya diam-diam.

Tak perlu rasa khawatir yang berlebihan. Sebab, melihat kau di seberang sana bersama “dia” yang membuatmu tersenyum pun itu lebih dari cukup bagi gadis itu.

Senja yang hilang,
Menulis tanpa harap untuk dibaca, menatap dari kejauhan tanpa harap untuk ditengok kembali.


Coretan usil. Jangan diseriusin. Hiks. 

Minggu, 08 Maret 2015

Pesan Pribadimu

Ku tak tahu, bulir airmata satu persatu jatuh begitu saja. Sebuah kalimat membuat sesak dalam atma. Tahukah engkau? hatiku berdesir hebat. Entah bagaimana aku bisa berkali-kali memaafkanmu seperti ini.

Aku yang terlalu bodoh. Menganggap semuanya dengan serius, padahal belaka. Lantas, makna apa yang kau gurat dalam kalimat sebelumnya? 

Aku seperti terhipnotis olehmu. Kau terlalu pandai merangkai kisah. Aku terlalu bodoh bermain di dalamnya. Ku tahu, kau sutradara disini.

Ternyata benar. Dugaanku tentang perempuan di ujung malam yang dingin. Tega ya, kau melakukan ini? 

Sungguh, ini diluar kuasaku. Bodoh, silahkan kau katakan berkali-kali bahwa aku ini bodoh. Aku terlalu terlena oleh rasa ini. Rasa yang membuatku menjatuhkan bulir air mata di ujung mataku. Ku tak tahu, aku hanya merasakan suatu hal yang menyakitkan. Bagaimana bisa?


Jujur saja, aku cemburu. Siang itu, ku ceritakan hal yang terjadi pada Rabb-Ku. Aku menangis sesuka hatiku. Tak kuat menahan semua sikapmu. Aku tak suka dengan permainanmu yang seperti ini. Jangan jadikan aku tawanan hatimu!

Tolong, jangan buat aku seperti ini. Kau ini seperti magnet. Aku tak mungkin menyalahkanmu. Aku pun tak mau menyalahkan diriku. Sebuah rasa yang hadir tiba-tiba begitu menyiksa. Sadarkah? kau ini begitu menyebalkan. Kau biarkan aku mengikuti permainanmu. Dan bodohnya, mengapa aku bersedia mengikutinya? Mengapa aku tak sedikitpun mengelak? Ah, aku benci berada di posisi seperti ini.

Ku tahu, perempuan itu bisa membuatmu bahagia. Ku lihat, sumringahnya wajahmu saat membuat pesan pribadi itu. Aku bisa melihatnya dari sini. Kak, sudah pernah ku bilang bukan? jangan anggap sebuah perasaan adalah permainan. Kau tak akan pernah tahu bagaimana rasanya di posisiku. Sungguh, sangat sakit luka yang kau beri. Bodohnya lagi, mengapa rasa itu semakin dalam? semakin sulit aku menghilangkannya. Sekarang, apa yang harus ku lakukan?

SINOPSIS BIARKAN MENGALIR SEPERTI AIR

Alea, remaja enam belas tahun yang berulang tahun setiap bulan Januari tidak pernah berharap Tuhan mendatangkan sahabat seperti seriga...